RSS

Minggu, 22 November 2009

Dosa diatas Sesal…

Oleh : Nurul Amalia

Lembayung rentetan kisah….

Menari di pelupuk angan

Dengan sejuta ejekan

Lima tahun lalu…

Merajut permohonan maaf…

Ampunan

Di atas sajadah dosa

Mengalir air mata bersalah

Yang tak tahu akankah termaafkan…

Bergelimang amal yang buruk…

Moral yang tak senonoh

Terluka hati orang tua

Terluka hati guru…sahabat…tetangga…teman

Mengalir bersama irama kesenangan dunia

Menyilaukan mata

Bersama tipuan syetan

Hidayah…

Cahaya itu datang

Bersama angin yang sepoi

Rembulan ceria

Matahari bersinar cerah

Merpati putih yang tersenyum tulus

Bersama Malaikat yang bertasbih

Pagi dan sore

Keremangan malam tahajjud

Di sepertiga malam terakhir sunyi

Setiap malam menanti kedatanganNYA

Berdendang shalawat kepada NabiNYa

Yang mengantar petunjuk ini

Hingga ku mengenalNYA

Kabut Kekuasaan Melukai Adikku

Oleh : Nurul Amiliya*

“ Tok…tok…..tok…!”

“ Tok…tok…!”

Terdengar suara pintu depan diketok.

“ Assalamu’alaikum…Mbak Mei ya…” setelah kubuka pintu…seorang anak kecil seumuran adikku menyapa dengan nada tergesa-gesa dan kelihatan agak panik. Wajahnya terlihat polos.

“ Waalaikumsalam… Iya benar…adik sendiri siapa? Temannya Fahri ya…”

“ Iya Mbak…tapi saya baru kenal satu minggu yang lalu…oh ya..Mbak, saya ke sini cuma mau memberitahukan kalau Fahri masuk rumahsakit ”

“ Astagfirullah…masuk rumahsakit? kok bisa?”

“ Maaf saya tidak bisa menceritakannya sekarang karena saya sudah di tunggu Bapak berjualan, insyaallah saya akan menceritakannya kalau saya jenguk Fahri ke sana” sambil berlalu pergi.

“ Dek…bentar! Fahri dirawat rumahsakit mana?

“ Di rumahsakit SITI AISYAH…” dia menjawab sambil tergesa-gesa pergi dan menoleh kearahku.

“ Oh ya...terimah kasih..” kataku seraya bergegas cepat ke dalam rumah.

# # #

Aku dan Ummi telah tiba di rumahsakit….di kamar Fahri. Ummi membacakan ayat al-quran di samping adikku itu. Fahri nakal…berubah jadi pendiam. Dia belum sadarkan diri, seperti orang yang tertidur pulas. Aku duduk di dekat jendela kamar warna putih. Memandangi rintikan hujan yang mulai agak gerimis…pepohonan indah di depan jendela bergoyang-goyang di sapu angin yang lebat. Rumput-rumput ilalang panjang pun ikut bergoyang. Aku menutup jendela kamar…agar Fahri tidak masuk angin.

Kami terlarut dalam berbagai pertanyaan yang terselubung, sambil sesekali memandang wajah imut Fahri kecil…apa yang menyebabkan Fahri sampai masuk rumahsakit seperti ini.

Sampai akhirnya terdengar ketukan pintu…lirih…namun jelas. Mengacaukan pertanyaan dalam benak kami yang masih menari-nari sedih. Aku dan Ummi saling pandang hingga akhirnya Ummi memutuskan membuka pintu.

“ Assalamu’alaikum….Bu…apa benar ini kamar Fahri?” seorang Bapak tak di kenal dengan beberapa rekannya datang menghampiri kami. Memakai baju batik resmi. Rekannya ada empat orang. Laki-laki semua, memakai pakaian yang sama pula.

“ Iya benar…ada apa ya Pak?” Tanya Ummi dengan terheran-heran.

“ Saya datang mewakili partai X, mengucapkan ucapan turut bersedih hati atas nasib Fahri. Maka dari itu kami memberikan ini….sedikit untuk meringankan beban Ibu.” seraya menyodorkan amplop yang isinya tidak lain adalah uang. Di depan amplop ada stiker kecil yang bertuliskan logo partainya.

Ibuku diam terpaku…tak bergerak sedikitpun…

“ Tapi…dari mana Bapak tahu kalau Fahri sakit dan ada di rumahsakit ini? Apakah dengan sakitnya Fahri ada hubungannya dengan Bapak?” Ummi bertanya dengan nada terheran-heran.

Bapak itu memandang rekan-rekannya dengan raut muka kebingungan. Kemudian salah satu dari rekannya membisikkan sesuatu kepadanya hingga akhirnya Bapak yang heran tadi menjadi mengangguk-angguk yakin dan tersenyum.

“ Ya…tidak lah Bu…tidak ada hubungannya. Cuma tadi pas lewat di sini, jalan-jalan lihat daftar pasien yang butuh bantuan. Pas melihat nama Fahri dan data-datanya…saya jadi terenyuh.” Bapak itu terjebak dengan kata-katanya sendiri, kelihatan gugup. Aku dapat menangkap raut mukanya yang merah…namun Bapak itu mencoba untuk tetap tenang.

Melihat keanehan itu, aku jadi tergelitik untuk ikut berbicara.“ Maaf Bapak…setahu saya, pihak rumahsakit tidak akan sembarangan memberikan data pasien tanpa seizin yang bersangkutan. Dari mana Bapak dapat izin?” aku bertanya dengan tenang seraya menyelidiki raut mukanya sekali lagi. Hasilnya…sama dengan lima menit lalu.

“ Oh itu…saya dapat dari salah satu famili saya yang bekerja di sini….tapi sudahlah yang penting kami ikhlas membantu kalian. Jadi gimana ibu ?” orang itu setengah memaksa ibu dan mencoba mengalihkan pada pertanyaan lain.

“ Maaf pak…bukan maksud menolak pemberian itu. Tapi sungguh..saya tidak berani menerimanya karena saya tidak tahu asal uang itu dari mana. Saya takut dosa memakan makanan yang berasal dari barang syubhat” kata ibuku dengan terbata-bata.

Orang itu tetap saja memaksa….sambil menyodorkan amplop tadi…

“ Ini uang halal kok Bu….tenang saja. Kami juga sangat mengerti akan agama….ya sudah…saya terburu-buru karena ada urusan lainnya. Oh ya…minta doanya semoga saya bisa terpilih untuk pemilu yang tinggal hitungan hari. Jangan lupa, pilih saya ya…Bu…oh ya..adik juga.” Sambil menoleh ke arahku.

Akupun diam tak berkutik. Orang tua itu meletakkan amplop tadi di atas meja samping tempat tidur Fahri. Ummi masih belum juga mau menerima…beliau terdiam kaku.

Bapak misterius itupun pulang…dengan senyum kemenangan. Ya…menang karna memaksa! Senyumnya laksana sebuah ejekan. Sebuah hinaan bagi orang miskin seperti kami. Aku dan ibu tetap diam tak berkutik…kami bingung dan heran. Orang yang datang barusan, apakah malaikat ataukah syetan? Ya Robb…ampunilah dosa kami.

# # #

Malam harinya….hati kami masih risau. Si fahri tak kunjung sadar-sadar juga. Walau nakal tapi kami sangat menyayanginya. Setelah kejadian tadi sore, ibuku diam seribu diam…terlihat jelas beliau lagi memikirkan sesuatu. Sesekali menatap amplop coklat yang diam kaku di atas meja dan tidak pernah disentuh sedikitpun. Dalam hal ini aku kagum pada ummi. Cerdas…berpikir sebelum bertindak dan istiqomah dalam memegang ajaran agama.

“ Mi…Mei kekantin bentar ya….mau beli makan buat Ummi. Bukankah mulai tadi siang Ummi belum makan? Atau Ummi mau ikut ke kantin sekalian…mumpung dek Fahri belum bangun”

Ummi menoleh kearahku..tersentak agak kaget…

“ Hmmm….Mei saja ya..yang makan. Ummi lagi kenyang..” Ummi tersenyum tipis…meyankinkan.

“ Kalau ummi g’ makan…Mei juga g’ mau makan. Mei tahu Ummi juga lapar. Ummi lagi mikirin amplop tadi ya….? Mi..jika memang menurut keyakinan Ummi, jika kita makan uang itu adalah sesuatu yang syubhat, mendingan jangan. Karena sesuatu yang ragu-ragu itu tidaklah baik. Biar besok Mei kembalikan ke kantornya. Saran Mei sih begitu…yang terpenting sekarangUmmi makan ya…biar Ummi tidak ikut-ikutan sakit seperti Fahri. Ya…Mi?” bujukku seraya memeluk beliau penuh kasih sayang.

Ummi…mengangguk lega..dan akhirnya tersenyum seraya beranjak bersamaku ke kantin.

Bintangpun berkilau indah……bulan tersenyum sejenak diantara kabut gelapnya malam yang mencekam.

# # #

Keesokan harinya aku bergegas pulang sebentar ke rumah untuk mengambil pakaian Ummi dan Fahri. sebelum pulang aku memang berniat akan mengembalikan uang di amplop itu. Ketika aku menyentuh amplop dan akan memasukkankannya ke dalam tas kecil. Ummi mencegah…..hingga buatku tersentak kaget.

“ Mei…setelah Ummi pikir-pikir lagi. Gimana kalau kita ambil saja uang ini? “ Ummi mendekap uang itu.

“ Tapi Mi…tadi malam Ummi kan……..”

“ Mei…kalau tidak pakai uang itu, kita dapat uang dari mana nak? Sejak abimu meninggal tidak ada barang sedikitpun yang bisa di jual. Tanah…sawah…rumah kitapun sudah lenyap untuk biaya operasi abi. Itupun utang masih ada..” Ummi memotong kalimatku sambil menatapku dengan nanar.

Aku menarik nafas…berat dan bingung. Kenapa aku tidak berpikir mulai dari tadi malam? Bodohnya aku…lalu apa yang harus aku lakukan? Aku mau mencari uang ke mana lagi? Bukankah kemarin aku sudah dipecat dari restoran gara-gara memecahkan piring dengan tidak sengaja. Mengandalkan uang ngajar sebuah sekolah SDIT? Itupun hanya cukup untuk makan kami sehari-hari dan membayar uang kontrakan. Ya Allah…berilah jalan keluar?

“ Mi…gimana kalau kita pinjam ke Pak de yang di Tangerang?” aku mencoba memberi solusi.

“ Mei…Pak de mu itu kemarin sudah berikan modal Ummi untuk berjualan beserta warung kecil di depan rumah kita. Itupun sembunyi dari istrinya yang galaknya minta ampun. Kemarin beliau telfon kalau ternyata pabriknya terkena banjir sehigga menimbulkan kerugian besar pada perusahaannya itu. Lagian ummi g’ enak Mei…Pak de uda banyak membantu keluarga kita.” Ummi menyanggah…mencoba memberi pengertian.

“ Mei…Ummi tahu ini berat bagi kita. Tapi bagaimana lagi? Tidak ada jalan lain. Tadi Suster memanggil Ummi untuk segera melunasi semua administrasinya…Ummi hanya membayar seadanya. Untung Ummi bawa tabungan hasil dari jualan.”

Aku segera menyalami tangan beliau tanpa berkata apa-apa.

Aku ingin cepat-cepat lari dari hadapan Ummi. Ingin rasanya aku menangisi semua ini. Oh…ternyata Ummi terjebak juga. Ummi masuk perangkapnya. Aku harus gimana? Aku tidak sanggup jika harus marah sama Ummi, beliau kan juga manusia. Jadi aku harus gimana?

# # #

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah…Aku dihantui perasaan yang tak menentu. Rasa bersalah terhadap Tuhan dan perasaan bergejolak menjadi tidak karuan….dalam hati nurani paling dalam…aku tak ingin menerima uang itu. Uang sebagai bentuk penghinaan pada rakyat miskin seperti kami yang bukan berdasar untuk ikhlas. Namun ada unsur politik yang secara halus memaksa kami untuk menerimanya agar kami memilihnya di kancah peperangan pemilu pada 9 april yang lalu. Akankah aku tetap angkuh dengan pendirian seperti ini? Sementara keadaan mengggoda untuk menerima uang itu…

Sesekali aku melihat di kiri dan kanan jalan…banyak baleho, spanduk dan atribut lainnya yang mengotori jalan hanya untuk mengiklankan wajah-wajah para calon pemimpin negeri. Tidak banyak yang mengungkapkan visi-misi atau apa yang akan di butuhkan untuk perbaikan negeri ini ke depan, yang banyak adalah himbauan agar memilih mereka. Dan…Degg…aku tersentak kaget pada salah satu wajah yang terpampang pada salah satu baleho ukuran besar. Itukan…bapak yang…

Belum sempat aku mengucapkan itu…tiba-tiba…

Grekkk…..!

Semua penumpang dalam angkot ini kaget, termasuk aku. Angkot direm mendadak dikarenakan ada keramaian di sepanjang perjalanan.

Ternyata ada kampanye terbuka sebuah partai politik yang dilengkapi dengan panggung yang mendatangkan artis ibu kota di lapangan sepak bola yang dekat dengan jalan raya. Penonton dan simpatisan ada di jalanan dengan tidak teratur. Ramai sekali…suara musik dan goyangan para artis memuakkan pandangankus. Berapa dana yang terbuang? Hanya untuk hal-hal seperti itu?

# # #

Hari menjelang sore. Sepulang ngajar aku segera bergegas kerumah sakit lagi. Setelah menyiapkan segala sesuatunya, akupun berkemas. Seperti biasa, aku menunggu angkot warna pink untuk ke sana. Lima belas menit kemudian aku telah sampai ke rumahsakit.

Setelah masuk ke dalam kamar.

“ Assalamu’alaikum…” salamku ke Ummi.

“ Wa’alaikumsalam Mei…kau sudah datang nak…kita kedatangan tamu.tamu istimewa…malaikat yang menolong Fahri. Namanya Hasan” ibu memperkenalkan ke dua tamu yang ternyata sejak dari tadi ada di kamar Fahri..

“ Oh ya…ngomong-ngomong Hasan bagaimana kabarnya? Mulai kemarin Mbak tunggu lho..” aku mencoba memulai percakapan dengan tamu itu.

“ Oh ya…maaf Mbak Mei…sebenarnya saya sudah dari kemarin ingin ke sini. Tapi berhubung ada kampanye terbuka jadi saya harus bantu ayah berjualan sampai malam hari.” Hasan menjawab.

“ Oh gitu…g’ apa-apa kok...sempat main kesini, saya sudah bersyukur banget…Oh ya Hasan, saya boleh tanya sesuatu?” aku teringat akan pertanyaan yang menari-nari kemarin.

“ Ya…boleh kok Mbak Mei….” Kata hasan tertunduk malu.

“Hmmm kalau boleh saya tahu…kenapa Fahri kok bisa jadi sampai begini?” tanyaku

“ Oh ya…maaf saya lupa g’ menjelaskannya mulai dari kemarin. Kejadiaannya berawal ketika sekolah Fahri keluar lebih siang dikarenakan ada kampanye salah satu parpol di samping sekolahnya. Suasana bising lagu-lagu dan teriakan para penonton membuat sekolah menjadi tidak efektif. Akhirnya semua anak diliburkan untuk hari itu. Ketika Fahri melihat saya sedang berjualan di tengah kerumunan ribuan penonton dan simpatisan, dia mendesak ingin mendekati saya. Di tengah perjalanan menuju ke tempat saya melayani pembeli, sejumlah penonton sedang mabuk sambil joget. Para simpatisan menyuruh penonton yang mabuk agar pergi. Namun mereka tidak mau. Tetap saja berjoget…akhirnya terjadi perkelahian di antara penonton dan simpatisan. Saya menyuruh Fahri untuk mundur dan pergi jauh…tapi sayang semuanya terlambat. Botol minuman keras itu mengenai kepala Fahri. Begitulah kejadiaannya.” Hasan menjelaskan dengan panjang lebar.

“ Oh begitu….” Itulah kalimat yang keluar dari mulutku.

Tiba-tiba Hasan memungut sebuah pamflet yang seperti Ia kenal wajah calegnya di bawah meja.

“ Mbak Mei…ini kan…! sssaya masih ingat betul. Saat itu yang kampanye adalah orang ini…beliau juga Tanya kepada saya di mana Fahri di rawat.” Sambil menunjuk pada isi gambar brosur di tangannya.

Degggg…

Aku dan ibu tersentak kaget…! Ini..kan..!

SELESAI

Cerpenis

Mahasiswi Tarbiyah FAI UMM



Jumat, 23 Oktober 2009

SeBuah Sandiwara


“…..Dunia ini panggung sandiwara cerita yang mudah berubah

Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura

Mengapa kita bersandiwara...”

Sebuah tembang yang penuh makna. Lirik lagu - lagu yang dilantunkan ahmad albar ditahun 70-an akan kita dapatkan nasehat – nasehat kehidupan jika kita amati lebih serius. Termasuk penggalan lirik lagu diatas yang menggambarkan bahwa kehidupan ini memang ”Sandiwara”.

Tuhan pencinta alam semesta ini adalah perancang skenario besar kehidupan, sekaligus dengan ketetapan pemilihan siapa saja pemeran masing-masing skenario yang telah ditetapkan itu untuk dijalankan dalam kehidupan alam semesta ini. Pernahkah terlintas dibenak kita seandainya Tuhan berkompromi dahulu sebelum menetapkan pemeran (aktor dan aktris). Untuk menjalankan skenario – Nya, kira – kira peran apa yang kita pilih?

Sejenak renungkan penggalan – penggalan skenario di negeri kita tercinta. Tsunami yang melanda negeri kita hampir genap lima tahun yang lalu tepatnya di Aceh. Ratusan nyawa melayang. Rumah – rumah penduduk dan bangunan hampir rata dengan tanah. Tahun 2006 peristiwa menyemburnya lumpur panas yang menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di kabupaten Sidoarjo. Warga pun harus rela meninggalkan tempat tinggalnya dan para petani harus kehilangan areal pertaniannya. Di sisi kehidupan manusia lainnya ada seorang berprofesi sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di negeri sebrang demi membantu biaya kehidupan keluarga yang makin menyempit harus melompat dari gedung bertingkat karena tak kuat lagi dengan siksaan majikannya sehingga menimbulkan luka pukul dan bakar hampir disekujur tubuhnya. Tiga bulan yang lalu musibah menimpa artis kita si cantik Manohara harus mengalami tragedi pahit dalam hidupnya. Diduga mengalami KDRT sejak berumah tangga dengan suaminya Pangeran Kerajaan Kelantan. Peristiwa ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton harus diselesaikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai president untuk menetramkan masyarakatnya.

Siapa yang mau memerankan korban Tsunami Aceh yang kehilangan harta dan sanak keluarganya? Siapa yang ingin memiliki peran TKW yang disiksa majikan? Siapa pula ingin kehilangan tempat tinggal karena terpendam lumpur? Siapa pula yang sanggup menerima peran sebagai Manohara yang disiksa suaminya sendiri dan sebagai president yang diteror disana – sini? Kalau kita disuruh memilih pasti akan memilih peran paling indah dalam menjalani hidup.

Kenapa Tuhan tidak kompromi dulu dalam menentukan siapa, memerankan apa? Karena Tuhan lebih tahu siapa yang mampu berperan pada skenario yang telah dibuatnya. Namun siapa pemeran terbaik dalam memerankan skenario Tuhan dalam drama kehidupan ini. Teringat pesan ayah ku ketika aku mohon maaf berkali – kali karena beliau harus menanggung beban karena masalah – masalahku satu tahun belakangan ini. Kita hanyalah aktor / aktris dalam kehidupan. Barang siapa yang ikhlas dan ridho dengan peran yang diberikan kepada kita, sehingga dengan keikhlasan dan ketulusan itu menjadikan peran kita begitu memuaskan berarti kita telah menjalankan amanahNya dengan baik. Dan mungkin menjadi aktor / aktris terbaik versi Tuhan. Seperti artis sinetron yang mampu memerankan peran sesuai skenario dan keinginan sutradara dimana harus memerankan peran seorang yang dikucilkan,dijambak, disakiti dan terhina , namun karena keikhlasan dan keseriusannya diakhir semua sandiwara ini aktor/aktris tersebut tidak hanya mendapatkan ”fee” kontrak kerja tapi bisa juga mendapatkan anugrah piala citra sebagai pemeran terbaik.


Isna Hidayati Effendi

Anggota Pena Group FAI UMM